Minggu, 22 Januari 2012

Mengapa Kita Memilih Jalan di Tempat?

Judul diatas bukan merupakan sebuah teori, melainkan hanya sebuah asumsi sederhana yang merupakan akumulasi setelah saya membaca beberapa buku yang menceritakan tentang keadaan mahasiswa.
Sebelum lebih jauh, mari kita cermati analogi berikut. Sebuah kolam ikan yang hari ini kita taburi bibit ikan, maka kira-kira enam bulan kemudian akan siap dipanen dan menghasilkan produk berupa daging ikan. Seareal lahan yang hari ini kita taburi bibit jagung, maka bebrapa bulan yang akan datang akan menhasilkan buah jagung.
Maksud analogi di atas adalah, ketika hari ini kita yang berstatus sebagai mahasiswa dan mahasiswa itu adalah manusia yang mengaku mahluk paling sempurna alias canggih, jika hari ini adalah awal semester, maka harusnya enam bulan yang akan datang tepatnya pada akhir semester kita harusnya juga mengalami sebuah perkembangan seperti analogi ikan dan jagung yang siap berproduksi.
Namun realita berkata lain, banyak diantara kita yang terlena dalam stagnasi dan kejumudan alias jalan ditempat. Kita tidak mengalami peningkatan kualitas sama sekali, kita tidak mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat seperti ikan dan jagung tadi. Maka dengan kata lain, kita ternyata telah dikalahkan oleh ikan dan jagung yang mampu memberikan manfaat dan berkembang.
Sebuah kondisi yang kedengarannya ironi, namun itulah yang sedang terjadi. Banyak diantara kita yang tak mampu mengalahkan diri sendiri, adapula yang selalu mentoleransi dirinya, yang lain lagi selalu berdalih ini itu, mengatakan bahwa masih belum waktunya atau berujar saatnya belum tepat.
Sementara kita tahu bahwa waktu akan terus bergulir, waktu tak kenal toleransi apalagi kompromi. Dan masa hidup seorang manusia di dunia ini tidaklah lama. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika memang kita mengetahui akan waktu yang terus bergulir? Mengapa masih sangat sering kita pongah dan berleha-leha, berlama-lama dihadapan layar televisi, betah berjam-jam bermain game. Mengapa?
Harus berapa banyak motivasi yang perlu kita dengar? Atau berapa banyak tulisan-tulisan yang harus kita baca untuk menginspirasi? Rasanya sebanyak apaun motivasi dan inspirasi yang kita miliki, jika kita tetap saja membiarkan diri untuk tidak berbuat dan bergerak, maka kita akan menjadi orang yang sama, satu bulan, dua bulan atau bahkan tahun yang akan datang.
Ada sebuah paradigma yang berkembang di kalangan mahasiswa bahwa katanya saat menjadi mahasiswa adalah saatnya berteori, urusan action serahkan dulu ke yang lain. Maka mereka yang berpegang pada paradigma ini kemudian sangat aktif berbicara dan berdiskusi, mereka membahas dari hal-hal sepele sampai masalah dan kondisi negara. Namun mereka tetap membiarkan diri dalam kepasifan, dalam bahasa lain disebut “hanya sebatas wacana”.
Tentu paradigma semacam ini bukanlah sesuatu yang pantas untuk dijadikan pegangan. Mahasiswa dengan segala embel-embel yang dilekatkan padanya, sudah sepantasnya dan seharusnyalah menyadari ada setumpuk tanggung jawab yang diembannya.
Mahasiswa adalah iron stock yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi penerus bangsa, yang harus bisa menciptakan solusi bagi permasalahan dan realita sosial yang dirasa timpang. Bukan kemudian hanya berdemonstrasi, memboikot, memprovokasi, apalagi melakukan aksi-aksi anarkis.
Mahasiswa harus benar-benar membuktikan diri sebagai inisiator terhadap problema-problema, minimal disekitarnya. Mahasiswa jangan merasa super sehingga dengan segala idealismenya berfikir akan mengubah keadaan negeri ini. Atau ada yang berfikir ingin merubah sistem politik dan pemerintahan.
Mari kita tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa kita perbuat ketika kita menyaksikan begitu banyak gelandangan di kota. Betapa banyak pengemis yang kelaparan? Dan tak sedikit petani yang tak mampu menghidupi keluarganya setelah lelah membanting tulang ternyata hasil panennya tak mampu membayar biaya input yang harus dikeluarkan.
Hal-hal diatas merupakan sekelumit contoh problema kongkrit yang tengah dipertontonkan didepan mata kita. Apakah kita tetap hanya akan mendiskusikan cara menolong mereka “hanya sebatas wacana”. Download PDF di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar