Sabtu, 13 Juni 2009

KISAH SEDIH

Hari itu aku dibangunkan lebih awal dari biasanya, ketika mataku ku buka, aku melihat sebuah tas besar penuh muatan tersandar di dinding. Aku masih merekam momen itu, hari itu hari rabu. Ketika matahari belum muncul, tapi cahaya samarnya sudah menerangi. Kulihat bapakku sudah berkemas dengan rapi. Ia mengenakan jacket merah, celana hitam lengkap dengan sepatu yang selalu disemprotnya dengan cat pylox agar berwarna hitam, karena sepatunya berwarna merah. Ibu dan kakakku duduk di ruang tengah,. Ya, hari itu aku harus berangkat kuliah juah nun di seberang sana, ke suatu tempat yang biasanya hanya ku lihat di tv, tapi kini aku akan menapakinya.

Lampu hijau pun telah menyala, menandakan aku harus segera berangkat meninggalkan....meninggalkan keluargaku, temanku, dan kampungku. Pagi itu merupakan pagi terakhir aku mendengar cicit burung yang mengisap sari bunga kelapa di-samping rumahku, dua batang pohon akasia rindang yang meneduhi halaman depan rumah tak akan kulihat lagi, aku tak bisa lagi mendengar kokok ayam jantan Cik Ilam yang biasa membangunkanku di pagi hari.

Aku menyalami dan mencium tangan ibuku, lalu kakakku. Aku tak menatap wajah mereka karena aku takut akan menangis sedih karena meninggalkan mereka. Aku sempat mau pamit dengan nenekku, tapi karena waktu itu masih sangat pagi mungkin ia masih tidur, sehingga aku tidak bertemu. Aku ingat seorang tetanggaku yang menghapiriku, ya aku ingat wajahnya, yang pada waktu itu tidak terlalu ku gubris karena hatiku yang galau. Dialah bang Rasyid penduduk desaku yang berasal dari Jawa.

Ketika hatiku sedang berkecamuk, sedih bercampur menjadi satu. Aku menundukan kepalaku yang ditutupi helm berwarna biru, helm favoritku. Suara bapakku menyadarkanku kalau harus segera berangkat. “ Selamat tinggal ,” batinku dalam hati, tanpa aku sadari butir-butir bening keluar dari mataku. Aku begitu sulit meninggalkan mereka semua, padahal aku hanya pergi satu tahun.