Sabtu, 29 Oktober 2011

MEMOAR KULIAH KERJA NYATA di PANGGUNG REJO BLITAR

Udara dingin dusun Kalibentak desa Panggung Rejo pagi itu memaksa kami untuk terjaga dari lelap tidur. Semburat cahaya keemasan dari ufuk timur beradu dengan ibu-ibu desa yang bergegas menuju pasar Pon di jalan setapak tak jauh dari sebuah Bank milik pemerintah.
Hari masih terlalu pagi ketika beberapa teman satu kelompokku sudah mengantri giliran mandi. Sebagian yang lain turut berpartisipasi bersama ibu-ibu tadi meramaikan pasar desa yang hanya buka setiap Pon itu. Mereka yang hanya dengan cuci muka sekedarnya mendatangi pasar dengan penuh percaya diri. Aku sendiri pernah satu kali ke pasar itu, disana dijual beraneka macam barang mulai dari sembako hingga pakaian serta tak ketinggalan peralatan pertanian.
Sinar itu semakin garang, memaksa titik-titik embun menguap dari tempatnya, meninggalkan daun-daun yang perlahan mulai menunjukkan gejala layu. “Sudah hampir empat bulan di sini tak turun hujan” demikian kata salah seorang warga ketika kutanya.
Gerahnya udara ketika siang karena hujan tak kunjung turun, berubah menjadi asri karena terobati oleh keramahan warga di desa ini. Hal ini salah satu yang sulit kulupakan.
Tak terasa sudah hampir seminggu aku di desa ini. Bersama 20 orang temanku yang lain. Kami adalah mahasiswa Kuliah kerja Nyata (KKN) Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang.
Ketika malam kami dihadirkan sebuah pemandangan yang indah, puluhan layang-layang raksasa dengan lampu beraneka rupa menghiasi langit nan cerah. Beradu dengan bintang yang berkedip riang, didukung hembusan angin yang tak kunjung diam.
Malam berlalu, siang pun berganti hingga tiba lah kami di penghujung hari pelaksanaan KKN ini. Banyak dinamika telah kami lalui, banyak hal telah dilewati. Banyak pelajaran dan hikmah yang bisa kami resapi, mulai dari hal sederhana seperti mengantri mandi, hingga bagaimana memaksa diri agar tak kalah oleh rasa grogi ketika berbicara didepan warga.
Dikelompok, kami secara tak langsung diajarkan untuk saling bertoleransi, saling memahami dan menekan ego pribadi. Diberikan pemahaman tentang bekerja sama, dan merumuskan kegiatan yang bertujuan mengabdikan diri pada masyarakat.
Sungguh bagiku momentum KKN menghadirkan kenangan indah yang sulit dilupakan. Hingga hari ini, tiba-tiba aku merasakan kerinduan yang sangat akan kebersamaan itu. Bercanda bersama dengan teman-teman dari latar belakang budaya berbeda, dan mengenal pribadi-pribadi luar biasa dengan karakter masing-masing.

Senin, 17 Oktober 2011

HANYA MENGAKU MAHASISWA

Pagi hari tak terdengar kokok ayam seperti di desa. Hanya kumandang azan yang ramai sekali, bersahutan dari mesjid ke mesjid, dari mushola ke mushola. Lebih pagi lagi ketika bola raksasa berwarna keemasan mulai menampakkan ronanya, menghiasi angkasa di ufuk timur, menciptakan keindahan tiada tara. Aku terkesima hampir beberapa menit mengamati pertunjukan alam yang dipersembahkan untukku.
Jalan Tlogo Mas kembali ramai ketika pagi hari, hilir mudik kendaraan seperti aliran sungai tak pernah berhenti, sehingga kakek-kakek dan anak-anak yang ingin mnenyeberang jalan harus meminta bantuan satpam atau tukang parkir.
Beberapa anak muda yang mengaku mahasiswa baru bangun tidur, mengusap-usap matanya dengan tatapan kosong dan fikiran melayang. Sembari menggeliatkan badan, tangannya mencari hand phone. Melihat jam 8 pagi selimut ditariknya lagi, tidur dilanjutkan tak peduli orang lain sudah sibuk dengan kegiatannya, tak mau ambil tau orang lain sudah mencipta karya, tak acuh dengan pepatah bangun pagi banyak rezeki, bangun siang rezeki diambil ayam.
Beberapa anak muda lain yang mengaku mahasiswa berbondong mengunjungi sebuah bangunan yang bertulis “warnet”. “Mau kerjakan tugas” salah seorang dari mereka berkata. Sibuk browsing, klik sana sini mencari referensi seperti judul tugas yang diberi dosen. “Ah, bikin lama, repot, copy paste saja” terdengar bisik diantara mereka.
Di sudut salah satu kamar yang sepi, nyaris tak ada suara. Seorang anak muda memegang sebuah buku, matanya menatap lekat setiap baris kalimat yang tertera. Sesekali dahinya mengernyit, kemudian membuat catatan kecil berisi poin penting dari yang ia baca, ia tak perduli dengan keadaan sekelilingnya, tak tanggap akan perubahan sosial lingkungannya. Baginya nilai “A” adalah harga mati, anak muda ini juga mengaku mahasiswa.
Beberapa waktu yang lalu mereka yang mengaku mahasiswa berunjuk rasa, meneriakkan kata-kata cerdas dengan suara nyaring. Katanya “Kita harus perhatikan nasib rakyat kecil, kaum lemah dan tertindas, pemerintah tak boleh berlaku seenaknya, ini masalah keadilan” begitu lantang suaranya.
Yang lain ikut menambahkan “Coba perhatikan berapa banyak warga yang akan kehilangan pekerjaan dan otomatis menjadi pengangguran, siapa yang harus menanggung ini semua?” tak kalah lantang. Mereka sangat berani, bersemangat namun biasanya kuliah tak selesai.
Di lain tempat, mereka yang mengaku mahasiswa berkumpul, duduk rapat dengan kaki sedikit ditekuk, karena ruangan yang sempit seolah menjadi sesak. Mereka membicarakan macam-macam hal, seolah seperti orang pintar, berlagak serba tahu dengan gaya bicara dibuat-buat. Namun kadang tanpa referensi yang jelas, sehingga tak terarah. Mereka betah ber jam-jam, dan tak jarang hingga larut malam.
Di tempat ini suasananya beda, mereka yang juga ingin disebut mahasiswa berkumpul. Duduk bersama dengan riang gembira, menyanyi dengan diiringi sebuah gitar lapuk. Sesekali meneguk minuman berbau menyengat dari botol kaca. Bungkus makanan ringan berserakan, abu-abu rokok bertaburan. Mata mereka memerah, tapi tawanya semakin nyaring. Mereka tak perduli dengan orang lain, tak perduli dengan aturan RT, bahkan tak perduli dengan diri sendiri. Tragis.
Di tikungan jalan berdiri sebuah bangunan megah, di dalamnya dua orang tua yang mengaku anaknya mahasiswa bercerita dengan bangga. “Anakku sebentar lagi di wisuda, ia akan jadi sarjana seper ti aku” ujarnya dengan senyum mengembang.
Jauh di ujung desa, dua orang suami istri yang sudah renta juga bercerita. Mereka menceritakan anaknya yang katanya adalah mahasiswa. “Sebentar lagi anak kita diwisuda, bapak benar-benar bangga padanya” ucapnya dengan terisak karena tangis bahagia.
Selesai menulis catatan ini, benakku bertanya, "Seperti apa mahasiswa sesungguhnya?".............

Senin, 10 Oktober 2011

Menjadi Orang Sukses

HANYA ORANG YANG TAK PERNAH MENYERAH YANG AKAN JADI PEMENANG
Sesungguhnya tiada kesuksesan tanpa melalui sebuah perjuangan yang besar. Dan nanti akan berbuah indah pada waktunya, tentu saja jika semuanya bisa dilalui dengan sabar, iklas dan penuh tanggung jawab. Kedisiplinan adalah nilai yang tak boleh ditawar lagi dalam menuju sukses. Kedisiplinan akan selalu berbanding lurus dengan keberhasilan seseorang. Adalah hal mustahil seorang yang tak disiplin bisa mencapai kesuksesan. Ombak yang tenang tak akan menghasilkan pelaut yang tangguh. Dan hal-hal yang bagi sebagian orang adalah membahayakan, bagi pemenang itu adalah tantangan. Maka orang sukses bukan orang yang menghindari masalah, tapi ia adalah orang yang pandai menghadirkan solusi dari setiap permasalahan yang muncul.
Namun perlu disadri, bahwa banyak orang yang merencanakan untuk sukses tanpa dibarengi dengan action untuk mencapai sukses itu sendiri. Sehingga rencana hanya sebatas rencana dan wacana yang tak lebih dari sekedar pemanis bibir. Pastilah berbeda dengan orang yang benar-benar serius dalam mencapai kesusksesannya. Mereka akan mulai bergerak walau selangkah, perlahan namun pasti dan penuh rasa percaya diri.
Telah banyak orang yang memimpikan kesuksesan 10 tahun yang lalu. Tak sedikit pula orang yang mendambakan keberhasilan mereka di usia muda. Namun mereka tak berubah nasibnya seperti ketika mereka mengucapakn kata "Aku harus berhasil 10 tahun lagi". Berbeda mdengan orang-orang yang mengatakan "Aku ingin sukses" dan mereka membarengi ucapannya dengan kerja keras, disiplin dan fokus pada apa yang diimpikannya saat itu juga tanpa pernah menunda waktu.
Walaupun memang kesuksesan adalah hal yang relatif dan bersifat persepsi, namun harus disadari bahwa kesuksesan intinya adalah keberhasilan seseorang mencapai tujuannya.