Kamis, 26 Januari 2012

Angin Kencang

Angin yang bertiup kencang malam ini membuatku tiba-tiba sangat merindukannya. Aku terlempar jauh melampaui waktu, melewati ruang dan batas, menerawang ke alam imaji, hingga ku temui sosok kecilku belasan tahun yang lalu. Sosok penuh keluguan yang hanya mengerti bahwa aku ada dan aku dikelilingi orang-orang yang sangat menyayangiku. Hanya itu yang ku tau.
Angin masih bertiup kencang, seperti ingin menerbangkan atap yang pakunya hampir lepas. Persis suasananya seperti hari ini, ketika angin bertiup sangat kencang, disertai hujan dan suara petir yang menyambar. Aku kecil memeluk erat pinggul Ibu, meronta ingin digendong dengan suara tangis yang memekik. Maka dengan tangan lembut dan hatinya yang penuh cinta Ia menggendongku.
Tergambar dengan jelas sebatang pohon tinggi di samping rumahku kala itu, pohon itu meliuk-liuk lembut seperti mengejekku yang ketakutan setengah mati, karena aku ingat cerita Bapakku bahwa pohon itu bisa saja tumbang dan menimpa rumah kami kala angin kencang bertiup. Maka semakin menjadi-jadi aku menangis, namun Ibu sosok yang penuh cinta tak henti menghiburku sambil mendendangkan lagu-lagu Sholawat. Hingga tak kusadari aku sudah pindah tertidur dalam ayunan.
Angin di kampungku adalah angin yang ganas, yang tak bersahabat dengan petani, karena tak jarang kulihat angin menerbangkan jemuran padi yang terlambat diangkat. Angin di kampungku juga tak ramah dengan tukang cuci, karena ia dengan semaunya membawa hujan tanpa memberikan kesempatan kepada gadis-gadis desa mengangkat jemuran bajunya. Ah, ternyata angin di kampungku kurasa juga nakal pada anak-anak seperti aku ketika itu, karena ia pernah memutuskan tali layanganku.
Tiupan angin yang kian kencang, membuatku makin tersasar ke jauh kenanganku, aku bertemu teman-teman kecilku, yang semuanya lugu-lugu tapi nakalnya minta ampun. Aku bertemu Odi yang tampan tapi di pipinya ada tahi lalat yang lumayan besar, aku bertemu Robin yang berwajah mirip Justien Bieber dengan rambut agak pirang yang kuduga karena jarang mandi, tak lupa turut hadir di memoriku Yono yang suka menjahiliku. Ia pernah mengambil kelerengku hingga aku menangis dan mengadu pada Ibu.
Ah, rasanya malam ini aku ingin berterima kasih pada angin, dan pada yang membuatnya bertiup dengan tak nakal lagi seperti dulu ketika membuatku nangis dan merepotkan Ibu, atau ketika ia memutus layanganku. Kali ini ia telah baik padaku karena telah menerbangkanku menuju belasan tahun yang lalu, membuatku menjadi sangat rindu pada Ibu dan pada cinta di rumahku.. I miss You Mom....

Syeh Dari Sambas Kal-Bar

AHMAD KHATIB SAMBAS


Salah seorang ulama Indonesia paling berpengaruh sepanjang abad 19, yang juga pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah (TQN) yang tersebar luas di Nusantara, terutama di Jawa. Beliau juga dikenal sebagai cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf.

Walau amat terkenal, namun tidak banyak yang diketahui tentang ulama tersohor ini. Beliau lahir di Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 1805 M (1217 H). Setelah menyelesaikan pendidikan agama tingkat dasar, beliau pergi ke Mekah pada umur 19 tahun untuk memperdalam ilmu, dan beliau menetap di sana hingga akhir hayatnya, yakni saat beliau wafat pada 1872 M (1289 H). Di antara para gurunya adalah Syekh Daud ibn Abd Allah ibn Idris al-Fatani, seorang alim besar dan mursyid tarekat Syattariyah. Syekh al-Fatani inilah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Khatib kepada Syekh Syams al-Din, seorang mursyid dari Tarekat Qadiriyyah. Peristiwa agak aneh dan menimbulkan tanda tanya, yakni mengapa Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak ikut pada tarekat guru pertamanya itu, padahal pada waktu itu Tarekat Syattariyyah bisa dikatakan cukup dominan dalam penyebarannya hingga akhir abad 19.

Syekh Syams al-Din ini amat mempengaruhi kehidupan Syekh Ahmad Khatib Sambas, dan Syekh Ahmad Khatib menjadi muridnya yang terbaik. Kelak Syekh Ahmad Khatib inilah yang menggantikan posisi gtrunya sebagai mursyid Tarekat Qadiriyyah. Tetapi tidak diketahui dengan pasti dari siapa Syekh Ahmad Khatib Sambas menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyyah. Guru-guru lainnya diantaranya adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (mursyid Tarekat Sammaniyah), Syekh Bisyri al-Jabarti, Sayyid Ahmad al-Marzuqi, Sayyid Abd Allah ibn Muhammad al-Mirghani dan Utsman ibn Hasan al-Dimyati.

Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid dari dua tarekat, meskipun kemudian dia tidak mengajarkannya secara terpisah, melainkan dikombinasikan. Kombinasi ini bisa dianggap sebagai bentuk tarekat baru yang berbeda dari dua tarekat sumbernya. Karenanya di Indonesia beliau dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Penyebaran tarekat ini juga dibantu oleh tersebar luasnya kitab karangan beliau, Fath al-Arifin, salah satu karya paling populer untuk praktik sufi di dunia Melayu. Kitab ini menjelaskan unsur-unsur dasar ajaran sufi, seperti baiat, zikir, muraqabah, silsilah (mata rantai spiritual) Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

Penerus dan penyebaran tarekat TQN

Semasa hidupnya Syekh Ahmad Khatib Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya setelah beliau meninggal dipegang oleh Syekh ABD AL-KARIM BANTEN. Selain Syekh Abdul Karim, dua wakil penting lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah Ibn Muhammad Madura. Pada awalnya semuanya mengakui otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah Syekh Abdul Karim meninggal, tidak ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya TQN menjadi terbagi dengan otoritas sendiri-sendiri.

Syekh Thalhah mengembangkan kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya yang paling penting adalah Syekh ABDULLAH MUBARROK IBN NUR MUHAMMAD atau “Abah Sepuh” dari Suryalaya dan putranya yang kharismatik Syekh AHMAD SHOHIBUL WAFA’ TAJ AL-ARIFIN. Khalifah lain di Jawa Barat adalah Kyai Falak, yang juga berasal dari Banten, yang mengembangkan TQN di daerah Pagentongan, Bogor Jawa Barat.

Untuk daerah Jawa Tengah, penerus TQN yang penting adalah K.H. MUSLIH ABDURRAHMAN (Mbah Muslih), yang menerima ijazah TQN dari K. H. Ibrahim al-Brumbungi, seorang khalifah dari Syekh Abdul Karim, melalui Mbah Abd Rahman Menur. Salah satu murid Kyai Muslih, yakni Kyai Abu Nur Jazuli menyebarkan TQN di Brebes. Murid lainnya, K. H. Durri Nawawi mengajarkan TQN di Kajen, Pati.

Sedangkan di Jawa Timur TQN berkembang pesat di Rejoso Jombang, melalui jalur Syekh Ahmad Hasbullah Madura, terutama di pesantren yang didirikan oleh Kyai Romli Tamim, dan kemudian diteruskan oleh Kyai MUSTA’IN ROMLY. Kyai Musta’in ini sangat kharismatik, dan sempat menjadi ketua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh. Tetapi pada pemilu 1977, karena beliau berafiliasi ke Golkar, maka lembaga ini pecah menjadi dua. Pihak penentang keterlibatan tarekat dalam politik kemudian mendirikan Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyyah (JATMAN), sedangkan kubu Kyai Musta’in Romli menambahkan kata Indonesia di belakang nama organisasi itu (JATMI). Salah satu murid kesayangan Kyai Romly Tamim adalah Kyai UTSMAN AL-ISHAQI, yang menyebarkan TQN al-Utsmani di Surabaya. Setelah Kyai Utsman meninggal, kepemimpinannya diteruskan oleh Kyai AHMAD ASRORI AL-ISHAQI (yang meninggal beberapa hari yang lalu – ya Allah sucikanlah sirr beliau). Di bawah kepemimpinan beliau, tarekatnya menyebar luas hingga ke mana-mana.

Metode dan ajaran zikir

Metode zikir tarekat ini menggunakan dua bentuk, zikir keras (jahar) dan diam (khafi). Untuk zikir keras beliau menggunakan teknik zikir dengan membaca laa ilaha illa Allah (kalimat nafy-itsbat) sebagaimana dipraktikkan dalam Tarekat Qadiriyyah. Sedangkan zikir “diam” menggunakan teknik dari Naqsyabandiyyah, yakni menyebut ism al-dzat: Allah. Namun praktik ini sedikit dimodifikasi dengan memasukkan unsur zikir Naqsyabandiyyah, di mana zikir kalimat tahlil itu dilakukan dengan mengacu pada titik-titik latha’if (pl: lathifah) yang ada dalam tubuh manusia sebagaimana diajarkan dalam Tarekat Naqsyabandiyyah. Tetapi dalam perkembangannya, meski prinsip dasarnya sama, namun kaifiyyah dalam beberapa otoritas TQN yang belakangan tampak sedikit berbeda, misalnya kaifiyyat zikir jahr TQN Suryalaya dengan TQN al-Utsmani memiliki sedikit perbedaan dalam penekanan pada hentakan dan tempo zikir, dan juga ada perbedaan dalam zikir khafinya. Demikian pula ada sedikit perbedaan dalam jumlah zikir khafi TQN Suryalaya dengan TQN Mranggen di bawah otoritas Kyai Muslih.. Walau demikian, prinsip dan tujuannya tetaplah sama – variasi itu tidak mengubah substansi dari amalan TQN secara keseluruhan. Berikut sedikit prinsip umum metode zikir TQN – namun penjelasan di bawah lebih didasarkan pada kaifiyyah dari TQN Suryalaya.

Zikir jahar la ilaha illa Allah dilakukan dengan membayangkan semacam garis imajiner yang melewati lathaif. Fungsi “penarikan” garis zikir itu, yakni dari bawah ke atas, lalu ke kanan dan kiri (untuk pemula yang belum berpengalaman dianjurkan dengan menggunakan gerak kepala, sehingga dari luar tampak mereka berzikir dengan menggeleng-gelengkan kepala) adalah agar kekuatan kalimat itu menyentuh titik-titik lthaif.

Gerakan simbolik dari zikir nafi-itsbat dimaksudkan agar semua lathifah tersebut, yang diyakini merupakan pusat pengendalian nafsu dan kesadaran jiwa dan spiritual, teraliri dan terkena energi dan panas zikir tahlil tersebut. Zikir pada mulanya pelan, dan cenderung lebih panjang tarikan bacaannya, tetapi kemudian temponya dipercepat dan suara makin meninggi, agar tercapai kondisi semacam “ekstase.” Percepatan bacaan ini juga dimaksudkan untuk membentengi pikiran dari “lintasan pikiran” (khatir) yang mengganggu hati, sehingga seluruh konsentrasi tertuju pada Allah saja.

Kitab Fath al-Arifin menggambarkan sepuluh lathifah, lima diantaranya yg utama adalah qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa, yang dikenal sebagai alam al-amr (alam perintah). Lima lathifah lainnya adalah nafs, plus empat unsur: air, udara, tanah dan api (alam al-khalq).

Pada Naqsybandi dan tarekat cabang-cabangnya, termasuk TQN, ada satu lathaif yang barangkali paling tinggi dan sulit dicapai, yakni kullu jasad. Ini adalah kondisi “tanpa titik” di mana totalitas insan (dimensi ruh, kognitif, dan fisik) telah dawam dalam berzikir dan “menjadi” zikir itu sendiri. Itu adalah saat laya r kesadaran menjadi tanpa tepi dan siap menerima limpahan (faid) ilmu dan rahasia-rahasia ruhani dari Allah.
Sumber: AHMAD KHATIB SAMBAS


Salah seorang ulama Indonesia paling berpengaruh sepanjang abad 19, yang juga pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah (TQN) yang tersebar luas di Nusantara, terutama di Jawa. Beliau juga dikenal sebagai cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf.

Walau amat terkenal, namun tidak banyak yang diketahui tentang ulama tersohor ini. Beliau lahir di Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 1805 M (1217 H). Setelah menyelesaikan pendidikan agama tingkat dasar, beliau pergi ke Mekah pada umur 19 tahun untuk memperdalam ilmu, dan beliau menetap di sana hingga akhir hayatnya, yakni saat beliau wafat pada 1872 M (1289 H). Di antara para gurunya adalah Syekh Daud ibn Abd Allah ibn Idris al-Fatani, seorang alim besar dan mursyid tarekat Syattariyah. Syekh al-Fatani inilah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Khatib kepada Syekh Syams al-Din, seorang mursyid dari Tarekat Qadiriyyah. Peristiwa agak aneh dan menimbulkan tanda tanya, yakni mengapa Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak ikut pada tarekat guru pertamanya itu, padahal pada waktu itu Tarekat Syattariyyah bisa dikatakan cukup dominan dalam penyebarannya hingga akhir abad 19.

Syekh Syams al-Din ini amat mempengaruhi kehidupan Syekh Ahmad Khatib Sambas, dan Syekh Ahmad Khatib menjadi muridnya yang terbaik. Kelak Syekh Ahmad Khatib inilah yang menggantikan posisi gurunya sebagai mursyid Tarekat Qadiriyyah. Tetapi tidak diketahui dengan pasti dari siapa Syekh Ahmad Khatib Sambas menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyyah. Guru-guru lainnya diantaranya adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (mursyid Tarekat Sammaniyah), Syekh Bisyri al-Jabarti, Sayyid Ahmad al-Marzuqi, Sayyid Abd Allah ibn Muhammad al-Mirghani dan Utsman ibn Hasan al-Dimyati.

Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid dari dua tarekat, meskipun kemudian dia tidak mengajarkannya secara terpisah, melainkan dikombinasikan. Kombinasi ini bisa dianggap sebagai bentuk tarekat baru yang berbeda dari dua tarekat sumbernya. Karenanya di Indonesia beliau dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Penyebaran tarekat ini juga dibantu oleh tersebar luasnya kitab karangan beliau, Fath al-Arifin, salah satu karya paling populer untuk praktik sufi di dunia Melayu. Kitab ini menjelaskan unsur-unsur dasar ajaran sufi, seperti baiat, zikir, muraqabah, silsilah (mata rantai spiritual) Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

Penerus dan penyebaran tarekat TQN

Semasa hidupnya Syekh Ahmad Khatib Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya setelah beliau meninggal dipegang oleh Syekh ABD AL-KARIM BANTEN. Selain Syekh Abdul Karim, dua wakil penting lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah Ibn Muhammad Madura. Pada awalnya semuanya mengakui otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah Syekh Abdul Karim meninggal, tidak ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya TQN menjadi terbagi dengan otoritas sendiri-sendiri.

Syekh Thalhah mengembangkan kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya yang paling penting adalah Syekh ABDULLAH MUBARROK IBN NUR MUHAMMAD atau “Abah Sepuh” dari Suryalaya dan putranya yang kharismatik Syekh AHMAD SHOHIBUL WAFA’ TAJ AL-ARIFIN. Khalifah lain di Jawa Barat adalah Kyai Falak, yang juga berasal dari Banten, yang mengembangkan TQN di daerah Pagentongan, Bogor Jawa Barat.

Untuk daerah Jawa Tengah, penerus TQN yang penting adalah K.H. MUSLIH ABDURRAHMAN (Mbah Muslih), yang menerima ijazah TQN dari K. H. Ibrahim al-Brumbungi, seorang khalifah dari Syekh Abdul Karim, melalui Mbah Abd Rahman Menur. Salah satu murid Kyai Muslih, yakni Kyai Abu Nur Jazuli menyebarkan TQN di Brebes. Murid lainnya, K. H. Durri Nawawi mengajarkan TQN di Kajen, Pati.

Sedangkan di Jawa Timur TQN berkembang pesat di Rejoso Jombang, melalui jalur Syekh Ahmad Hasbullah Madura, terutama di pesantren yang didirikan oleh Kyai Romli Tamim, dan kemudian diteruskan oleh Kyai MUSTA’IN ROMLY. Kyai Musta’in ini sangat kharismatik, dan sempat menjadi ketua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh. Tetapi pada pemilu 1977, karena beliau berafiliasi ke Golkar, maka lembaga ini pecah menjadi dua. Pihak penentang keterlibatan tarekat dalam politik kemudian mendirikan Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyyah (JATMAN), sedangkan kubu Kyai Musta’in Romli menambahkan kata Indonesia di belakang nama organisasi itu (JATMI). Salah satu murid kesayangan Kyai Romly Tamim adalah Kyai UTSMAN AL-ISHAQI, yang menyebarkan TQN al-Utsmani di Surabaya. Setelah Kyai Utsman meninggal, kepemimpinannya diteruskan oleh Kyai AHMAD ASRORI AL-ISHAQI (yang meninggal beberapa hari yang lalu – ya Allah sucikanlah sirr beliau). Di bawah kepemimpinan beliau, tarekatnya menyebar luas hingga ke mana-mana.

Metode dan ajaran zikir

Metode zikir tarekat ini menggunakan dua bentuk, zikir keras (jahar) dan diam (khafi). Untuk zikir keras beliau menggunakan teknik zikir dengan membaca laa ilaha illa Allah (kalimat nafy-itsbat) sebagaimana dipraktikkan dalam Tarekat Qadiriyyah. Sedangkan zikir “diam” menggunakan teknik dari Naqsyabandiyyah, yakni menyebut ism al-dzat: Allah. Namun praktik ini sedikit dimodifikasi dengan memasukkan unsur zikir Naqsyabandiyyah, di mana zikir kalimat tahlil itu dilakukan dengan mengacu pada titik-titik latha’if (pl: lathifah) yang ada dalam tubuh manusia sebagaimana diajarkan dalam Tarekat Naqsyabandiyyah. Tetapi dalam perkembangannya, meski prinsip dasarnya sama, namun kaifiyyah dalam beberapa otoritas TQN yang belakangan tampak sedikit berbeda, misalnya kaifiyyat zikir jahr TQN Suryalaya dengan TQN al-Utsmani memiliki sedikit perbedaan dalam penekanan pada hentakan dan tempo zikir, dan juga ada perbedaan dalam zikir khafinya. Demikian pula ada sedikit perbedaan dalam jumlah zikir khafi TQN Suryalaya dengan TQN Mranggen di bawah otoritas Kyai Muslih.. Walau demikian, prinsip dan tujuannya tetaplah sama – variasi itu tidak mengubah substansi dari amalan TQN secara keseluruhan. Berikut sedikit prinsip umum metode zikir TQN – namun penjelasan di bawah lebih didasarkan pada kaifiyyah dari TQN Suryalaya.

Zikir jahar la ilaha illa Allah dilakukan dengan membayangkan semacam garis imajiner yang melewati lathaif. Fungsi “penarikan” garis zikir itu, yakni dari bawah ke atas, lalu ke kanan dan kiri (untuk pemula yang belum berpengalaman dianjurkan dengan menggunakan gerak kepala, sehingga dari luar tampak mereka berzikir dengan menggeleng-gelengkan kepala) adalah agar kekuatan kalimat itu menyentuh titik-titik lthaif.

Gerakan simbolik dari zikir nafi-itsbat dimaksudkan agar semua lathifah tersebut, yang diyakini merupakan pusat pengendalian nafsu dan kesadaran jiwa dan spiritual, teraliri dan terkena energi dan panas zikir tahlil tersebut. Zikir pada mulanya pelan, dan cenderung lebih panjang tarikan bacaannya, tetapi kemudian temponya dipercepat dan suara makin meninggi, agar tercapai kondisi semacam “ekstase.” Percepatan bacaan ini juga dimaksudkan untuk membentengi pikiran dari “lintasan pikiran” (khatir) yang mengganggu hati, sehingga seluruh konsentrasi tertuju pada Allah saja.

Kitab Fath al-Arifin menggambarkan sepuluh lathifah, lima diantaranya yg utama adalah qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa, yang dikenal sebagai alam al-amr (alam perintah). Lima lathifah lainnya adalah nafs, plus empat unsur: air, udara, tanah dan api (alam al-khalq).

Pada Naqsybandi dan tarekat cabang-cabangnya, termasuk TQN, ada satu lathaif yang barangkali paling tinggi dan sulit dicapai, yakni kullu jasad. Ini adalah kondisi “tanpa titik” di mana totalitas insan (dimensi ruh, kognitif, dan fisik) telah dawam dalam berzikir dan “menjadi” zikir itu sendiri. Itu adalah saat laya r kesadaran menjadi tanpa tepi dan siap menerima limpahan (faid) ilmu dan rahasia-rahasia ruhani dari Allah.
Sumber: AHMAD KHATIB SAMBAS


Salah seorang ulama Indonesia paling berpengaruh sepanjang abad 19, yang juga pendiri tarekat Qadiriyyah wa Naqshabandiyyah (TQN) yang tersebar luas di Nusantara, terutama di Jawa. Beliau juga dikenal sebagai cendekiawan ulung terutama di bidang ilmu agama, seperti Qur’an, hadits, fiqih, kalam, dan, tentu saja, tasawuf.

Walau amat terkenal, namun tidak banyak yang diketahui tentang ulama tersohor ini. Beliau lahir di Sambas, Kalimantan Barat, pada tahun 1805 M (1217 H). Setelah menyelesaikan pendidikan agama tingkat dasar, beliau pergi ke Mekah pada umur 19 tahun untuk memperdalam ilmu, dan beliau menetap di sana hingga akhir hayatnya, yakni saat beliau wafat pada 1872 M (1289 H). Di antara para gurunya adalah Syekh Daud ibn Abd Allah ibn Idris al-Fatani, seorang alim besar dan mursyid tarekat Syattariyah. Syekh al-Fatani inilah yang memperkenalkan Syekh Ahmad Khatib kepada Syekh Syams al-Din, seorang mursyid dari Tarekat Qadiriyyah. Peristiwa agak aneh dan menimbulkan tanda tanya, yakni mengapa Syekh Ahmad Khatib Sambas tidak ikut pada tarekat guru pertamanya itu, padahal pada waktu itu Tarekat Syattariyyah bisa dikatakan cukup dominan dalam penyebarannya hingga akhir abad 19.

Syekh Syams al-Din ini amat mempengaruhi kehidupan Syekh Ahmad Khatib Sambas, dan Syekh Ahmad Khatib menjadi muridnya yang terbaik. Kelak Syekh Ahmad Khatib inilah yang menggantikan posisi gurunya sebagai mursyid Tarekat Qadiriyyah. Tetapi tidak diketahui dengan pasti dari siapa Syekh Ahmad Khatib Sambas menerima ijazah Tarekat Naqsyabandiyyah. Guru-guru lainnya diantaranya adalah Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari (mursyid Tarekat Sammaniyah), Syekh Bisyri al-Jabarti, Sayyid Ahmad al-Marzuqi, Sayyid Abd Allah ibn Muhammad al-Mirghani dan Utsman ibn Hasan al-Dimyati.

Syekh Ahmad Khatib Sambas adalah mursyid dari dua tarekat, meskipun kemudian dia tidak mengajarkannya secara terpisah, melainkan dikombinasikan. Kombinasi ini bisa dianggap sebagai bentuk tarekat baru yang berbeda dari dua tarekat sumbernya. Karenanya di Indonesia beliau dikenal sebagai pendiri Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah. Penyebaran tarekat ini juga dibantu oleh tersebar luasnya kitab karangan beliau, Fath al-Arifin, salah satu karya paling populer untuk praktik sufi di dunia Melayu. Kitab ini menjelaskan unsur-unsur dasar ajaran sufi, seperti baiat, zikir, muraqabah, silsilah (mata rantai spiritual) Tarekat Qadiriyyah wa Naqsyabandiyyah.

Penerus dan penyebaran tarekat TQN

Semasa hidupnya Syekh Ahmad Khatib Sambas mengangkat banyak khalifah (wakil), namun posisi pewaris utamanya setelah beliau meninggal dipegang oleh Syekh ABD AL-KARIM BANTEN. Selain Syekh Abdul Karim, dua wakil penting lainnya adalah Syekh Thalhah Kalisapu Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah Ibn Muhammad Madura. Pada awalnya semuanya mengakui otoritas Syekh Abdul Karim, namun setelah Syekh Abdul Karim meninggal, tidak ada lagi kepemimpinan pusat, dan karenanya TQN menjadi terbagi dengan otoritas sendiri-sendiri.

Syekh Thalhah mengembangkan kemursyidan sendiri di Jawa Barat. Penerusnya yang paling penting adalah Syekh ABDULLAH MUBARROK IBN NUR MUHAMMAD atau “Abah Sepuh” dari Suryalaya dan putranya yang kharismatik Syekh AHMAD SHOHIBUL WAFA’ TAJ AL-ARIFIN. Khalifah lain di Jawa Barat adalah Kyai Falak, yang juga berasal dari Banten, yang mengembangkan TQN di daerah Pagentongan, Bogor Jawa Barat.

Untuk daerah Jawa Tengah, penerus TQN yang penting adalah K.H. MUSLIH ABDURRAHMAN (Mbah Muslih), yang menerima ijazah TQN dari K. H. Ibrahim al-Brumbungi, seorang khalifah dari Syekh Abdul Karim, melalui Mbah Abd Rahman Menur. Salah satu murid Kyai Muslih, yakni Kyai Abu Nur Jazuli menyebarkan TQN di Brebes. Murid lainnya, K. H. Durri Nawawi mengajarkan TQN di Kajen, Pati.

Sedangkan di Jawa Timur TQN berkembang pesat di Rejoso Jombang, melalui jalur Syekh Ahmad Hasbullah Madura, terutama di pesantren yang didirikan oleh Kyai Romli Tamim, dan kemudian diteruskan oleh Kyai MUSTA’IN ROMLY. Kyai Musta’in ini sangat kharismatik, dan sempat menjadi ketua Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh. Tetapi pada pemilu 1977, karena beliau berafiliasi ke Golkar, maka lembaga ini pecah menjadi dua. Pihak penentang keterlibatan tarekat dalam politik kemudian mendirikan Jam’iyyah Ahli Thoriqoh al-Mu’tabaroh al-Nahdliyyah (JATMAN), sedangkan kubu Kyai Musta’in Romli menambahkan kata Indonesia di belakang nama organisasi itu (JATMI). Salah satu murid kesayangan Kyai Romly Tamim adalah Kyai UTSMAN AL-ISHAQI, yang menyebarkan TQN al-Utsmani di Surabaya. Setelah Kyai Utsman meninggal, kepemimpinannya diteruskan oleh Kyai AHMAD ASRORI AL-ISHAQI (yang meninggal beberapa hari yang lalu – ya Allah sucikanlah sirr beliau). Di bawah kepemimpinan beliau, tarekatnya menyebar luas hingga ke mana-mana.

Metode dan ajaran zikir

Metode zikir tarekat ini menggunakan dua bentuk, zikir keras (jahar) dan diam (khafi). Untuk zikir keras beliau menggunakan teknik zikir dengan membaca laa ilaha illa Allah (kalimat nafy-itsbat) sebagaimana dipraktikkan dalam Tarekat Qadiriyyah. Sedangkan zikir “diam” menggunakan teknik dari Naqsyabandiyyah, yakni menyebut ism al-dzat: Allah. Namun praktik ini sedikit dimodifikasi dengan memasukkan unsur zikir Naqsyabandiyyah, di mana zikir kalimat tahlil itu dilakukan dengan mengacu pada titik-titik latha’if (pl: lathifah) yang ada dalam tubuh manusia sebagaimana diajarkan dalam Tarekat Naqsyabandiyyah. Tetapi dalam perkembangannya, meski prinsip dasarnya sama, namun kaifiyyah dalam beberapa otoritas TQN yang belakangan tampak sedikit berbeda, misalnya kaifiyyat zikir jahr TQN Suryalaya dengan TQN al-Utsmani memiliki sedikit perbedaan dalam penekanan pada hentakan dan tempo zikir, dan juga ada perbedaan dalam zikir khafinya. Demikian pula ada sedikit perbedaan dalam jumlah zikir khafi TQN Suryalaya dengan TQN Mranggen di bawah otoritas Kyai Muslih.. Walau demikian, prinsip dan tujuannya tetaplah sama – variasi itu tidak mengubah substansi dari amalan TQN secara keseluruhan. Berikut sedikit prinsip umum metode zikir TQN – namun penjelasan di bawah lebih didasarkan pada kaifiyyah dari TQN Suryalaya.

Zikir jahar la ilaha illa Allah dilakukan dengan membayangkan semacam garis imajiner yang melewati lathaif. Fungsi “penarikan” garis zikir itu, yakni dari bawah ke atas, lalu ke kanan dan kiri (untuk pemula yang belum berpengalaman dianjurkan dengan menggunakan gerak kepala, sehingga dari luar tampak mereka berzikir dengan menggeleng-gelengkan kepala) adalah agar kekuatan kalimat itu menyentuh titik-titik lthaif.

Gerakan simbolik dari zikir nafi-itsbat dimaksudkan agar semua lathifah tersebut, yang diyakini merupakan pusat pengendalian nafsu dan kesadaran jiwa dan spiritual, teraliri dan terkena energi dan panas zikir tahlil tersebut. Zikir pada mulanya pelan, dan cenderung lebih panjang tarikan bacaannya, tetapi kemudian temponya dipercepat dan suara makin meninggi, agar tercapai kondisi semacam “ekstase.” Percepatan bacaan ini juga dimaksudkan untuk membentengi pikiran dari “lintasan pikiran” (khatir) yang mengganggu hati, sehingga seluruh konsentrasi tertuju pada Allah saja.

Kitab Fath al-Arifin menggambarkan sepuluh lathifah, lima diantaranya yg utama adalah qalb, ruh, sirr, khafi, dan akhfa, yang dikenal sebagai alam al-amr (alam perintah). Lima lathifah lainnya adalah nafs, plus empat unsur: air, udara, tanah dan api (alam al-khalq).

Pada Naqsybandi dan tarekat cabang-cabangnya, termasuk TQN, ada satu lathaif yang barangkali paling tinggi dan sulit dicapai, yakni kullu jasad. Ini adalah kondisi “tanpa titik” di mana totalitas insan (dimensi ruh, kognitif, dan fisik) telah dawam dalam berzikir dan “menjadi” zikir itu sendiri. Itu adalah saat laya r kesadaran menjadi tanpa tepi dan siap menerima limpahan (faid) ilmu dan rahasia-rahasia ruhani dari Allah.

Sumber : http://warkopmbahlalar.com/

Minggu, 22 Januari 2012

Mengapa Kita Memilih Jalan di Tempat?

Judul diatas bukan merupakan sebuah teori, melainkan hanya sebuah asumsi sederhana yang merupakan akumulasi setelah saya membaca beberapa buku yang menceritakan tentang keadaan mahasiswa.
Sebelum lebih jauh, mari kita cermati analogi berikut. Sebuah kolam ikan yang hari ini kita taburi bibit ikan, maka kira-kira enam bulan kemudian akan siap dipanen dan menghasilkan produk berupa daging ikan. Seareal lahan yang hari ini kita taburi bibit jagung, maka bebrapa bulan yang akan datang akan menhasilkan buah jagung.
Maksud analogi di atas adalah, ketika hari ini kita yang berstatus sebagai mahasiswa dan mahasiswa itu adalah manusia yang mengaku mahluk paling sempurna alias canggih, jika hari ini adalah awal semester, maka harusnya enam bulan yang akan datang tepatnya pada akhir semester kita harusnya juga mengalami sebuah perkembangan seperti analogi ikan dan jagung yang siap berproduksi.
Namun realita berkata lain, banyak diantara kita yang terlena dalam stagnasi dan kejumudan alias jalan ditempat. Kita tidak mengalami peningkatan kualitas sama sekali, kita tidak mampu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat seperti ikan dan jagung tadi. Maka dengan kata lain, kita ternyata telah dikalahkan oleh ikan dan jagung yang mampu memberikan manfaat dan berkembang.
Sebuah kondisi yang kedengarannya ironi, namun itulah yang sedang terjadi. Banyak diantara kita yang tak mampu mengalahkan diri sendiri, adapula yang selalu mentoleransi dirinya, yang lain lagi selalu berdalih ini itu, mengatakan bahwa masih belum waktunya atau berujar saatnya belum tepat.
Sementara kita tahu bahwa waktu akan terus bergulir, waktu tak kenal toleransi apalagi kompromi. Dan masa hidup seorang manusia di dunia ini tidaklah lama. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, jika memang kita mengetahui akan waktu yang terus bergulir? Mengapa masih sangat sering kita pongah dan berleha-leha, berlama-lama dihadapan layar televisi, betah berjam-jam bermain game. Mengapa?
Harus berapa banyak motivasi yang perlu kita dengar? Atau berapa banyak tulisan-tulisan yang harus kita baca untuk menginspirasi? Rasanya sebanyak apaun motivasi dan inspirasi yang kita miliki, jika kita tetap saja membiarkan diri untuk tidak berbuat dan bergerak, maka kita akan menjadi orang yang sama, satu bulan, dua bulan atau bahkan tahun yang akan datang.
Ada sebuah paradigma yang berkembang di kalangan mahasiswa bahwa katanya saat menjadi mahasiswa adalah saatnya berteori, urusan action serahkan dulu ke yang lain. Maka mereka yang berpegang pada paradigma ini kemudian sangat aktif berbicara dan berdiskusi, mereka membahas dari hal-hal sepele sampai masalah dan kondisi negara. Namun mereka tetap membiarkan diri dalam kepasifan, dalam bahasa lain disebut “hanya sebatas wacana”.
Tentu paradigma semacam ini bukanlah sesuatu yang pantas untuk dijadikan pegangan. Mahasiswa dengan segala embel-embel yang dilekatkan padanya, sudah sepantasnya dan seharusnyalah menyadari ada setumpuk tanggung jawab yang diembannya.
Mahasiswa adalah iron stock yang sedang mempersiapkan diri untuk menjadi penerus bangsa, yang harus bisa menciptakan solusi bagi permasalahan dan realita sosial yang dirasa timpang. Bukan kemudian hanya berdemonstrasi, memboikot, memprovokasi, apalagi melakukan aksi-aksi anarkis.
Mahasiswa harus benar-benar membuktikan diri sebagai inisiator terhadap problema-problema, minimal disekitarnya. Mahasiswa jangan merasa super sehingga dengan segala idealismenya berfikir akan mengubah keadaan negeri ini. Atau ada yang berfikir ingin merubah sistem politik dan pemerintahan.
Mari kita tanyakan pada diri sendiri, apa yang bisa kita perbuat ketika kita menyaksikan begitu banyak gelandangan di kota. Betapa banyak pengemis yang kelaparan? Dan tak sedikit petani yang tak mampu menghidupi keluarganya setelah lelah membanting tulang ternyata hasil panennya tak mampu membayar biaya input yang harus dikeluarkan.
Hal-hal diatas merupakan sekelumit contoh problema kongkrit yang tengah dipertontonkan didepan mata kita. Apakah kita tetap hanya akan mendiskusikan cara menolong mereka “hanya sebatas wacana”. Download PDF di sini.

Sidang Pleno KOMUNI; Proses Pembelajaran VS Apatisme dan Ketakutan

Oleh: Juanda (Anggota Biasa KOMUNI)

Sidang Pleno Komuni sebagai Sebuah Proses Pembelajaran
Judul tulisan ini didasari oleh pengalaman dan pengamatan setelah beberapa kali mengikuti proses Sidang Pleno maupun RAK di Komisariat tercinta, Komisariat Universitas Tribhuwana Tunggadewi (KOMUNI). Pengalaman dan pengamatan yang penulis lalui sejak bergabung di HMI pada Oktober 2008 sampai hari ini, telah memberikan sedikit pengetahuan tentang dinamika selama Sidang Pleno dan RAK berlangsung. Dinamika yang terjadi tentunya bermuara pada tujuan disamping sebagai media mengevaluasi dan proyeksi kinerja kepengurusan selama satu semester, juga diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan kemampuan anggota HMI dalam menganalisa dan berwacana, tanpa melupakan etika dan tuntunan Islam sebagai nafas HMI dalam berjuang.
Bagi pengurus Komisariat, momentum Sidang Pleno dan RAK, juga dimaknai sebagai proses menanamkan kedisiplinan...selengkapnya, download filenya di sini.

Rabu, 18 Januari 2012

Kedua Orang Tua

Seprti angin Ia membelai lembut
dan Ia selalu berkata bisa meski sangat sulit
Ia mengorbankan impian dan ambisinya
Ia adalah pahlawan sesungguhnya

Sabtu, 07 Januari 2012

CATATAN KU (LK II DI SERANG-BANTEN)

Raung sirine kereta api sore itu menandai keberangkatan ku. Setelah menempuh perjalanan hampir 20 jam dari kota Malang aku sampai ke Jakarta. Perjalanan dilanjutkan ke kota Serang provinsi Banten tempat acara dilangsungkan.

Gelap menjelang, sinar matahari senja bewarna keemasan menyambut kedatanganku di kota Serang. Tak lama berselang, azan magrib berkumandang. Aku bergegas menuju mushola terdekat. Di sana ku jumpai teman-teman HMI Cabang Pandeglang (Bang Fata', Agus, Taufik dan Mifta) serta seorang teman yang funny (Khoirul Adkan) dari Cabang Persiapan Tuban), miss You all kawan...! Malam itu berlalu dengan tidur lelap melepas kelelahan.

Hari pertama di kota Serang, aku banyak mengenal peserta dari Cabang-cabang lain (29 Cabang) se Indonesia. Bercengkrama, bertukar wacana, bertukar informasi, hingga bertukar nomor hp tentu saja..hehe. Tak butuh waktu lama untuk membangun suasana penuh keakraban, kami seperti telah saling kenal lama, hingga tak ada rasa sungkan ketika bercanda atau berdiskusi. Kawan-kawan semua, kalian adalah pribadi luar biasa yang ku kenal. Bangga bisa bertemu dan berdiskusi dengan kalian semua.

Setelah melalui proses screening kami (88 peserta LK 2 HMI Cab. Serang) diberangkatkan panitia ke Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Serang untuk menjalani kegiatan yang diawali dengan prosesi opening ceremony (kebetulan ada yang mengabadikan dengan video) kawan-kawan bisa lihat di sini.

Tak terasa perjalanan waktu begitu cepat. Letupan petasan yang membahana diiringi dengan semburat cahaya warna-warni di langit tengah malam itu menandai pergantian tahun 2011 ke 2012. Bersamaan dengan itu palu sidang diketuk tiga kali sebagi tanda pelaksanaan LK 2 telah usai.

Banyak hal yang tak mungkin bisa dilupakan, banyak kejadian dari yang lucu hingga menegangkan, semuanya merupakan dinamika yang harus dimaknai sebagai sebuah proses pembelajaran. Yang terpenting bagiku adalah, bahwa HMI telah menjadi wadah bagi kita dalam membangun silaturahmi antar sesama mahasiswa Islam. Mengajari bahwa tugas mahasiswa tidak hanya belajar, menuntut ilmu dan berkutat dengan rumus-rumus, namun mahasiswa juga mengemban amanah sebagai agen of social control dan agen-agen yang lain (tidak termasuk agen minyak tanah).

Di sini kenangan bersama kalian ku catat. Hingga nanti, mungkin ada salah seorang diantara kita yang menjadi tokoh penting (mudah-mudahan) akan kucari serakan catatan ini, untuk mengingat kembali masa-masa ketika kita menjadi mahasiswa.

Dan mudah-mudahan catatan sederhana ini kelak bisa menjadi pengingat bahwa kita pernah berdiskusi dengan penuh semangat tentang idealisme para alumni HMI yang tergerus ketika telah menjadi pejabat. Bahwa kita kita pernah dengan suara lantang berjanji untuk mewujudkan masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT.
YAkin Usaha Sampai. Billahitaufiq wal hidayah. Wassalamualikum, wr, wb.