Sabtu, 17 Desember 2011

KIPRAH PEREMPUAN DI RUANG PUBLIK

2.1.2 Kiprah Perempuan di Ruang Publik
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai bagaimana kiprah seorang perempuan di ruang publik, ada baiknya kita melihat bagaimana paradigma yang berkembang di tengah-tengah masyarakat terkait keterlibatan perempuan di ruang publik.
Pada umumnya orang melihat perempuan sebagai mahluk yang lemah, sementara laki-laki kuat; perempuan emosional, laki-laki rasional; perempuan halus, laki-laki kasar dan seterusnya. Perbedaan-perbedaan ini kemudian diyakini sebagai ketentuan kodrat yang sudah dari sono-nya³. Oleh karenanya ia bersifat tetap dan tidak dapat diubah, mengubah itu dianggap sebagai menyalahi kodrat atau bahkan menentang ketentuan Tuhan (Muhammad, 2009).
Dari sisi budaya perempuan pun ternyata tidak diuntungkan dalam kiprahnya di ruang publik. Di mana budaya yang tampak di sekitar kita secara umum masih memperlihatkan dengan jelas keberpihakannya kepada laki-laki. Dalam kebudayaan ini “budaya patriarki” memapankan peran laki-laki untuk melakukan dan menentukan apa saja disadari atau tidak mendapatkan pembenaran. Sebaliknya perempuan berada dalam posisi subordinat. Ia menjadi bagian dari laki-laki dan menggantungkan hidupnya pada laki-laki.
Salah satu ayat Al Quran yang selalu dijadikan dasar atas pandangan-pandangan di atas adalah “laki-laki adalah pemimpin atas kaum perempuan” (Q.S. An Nisa: 34).
Padahal ayat ini menurut Abdullah (2003), jelas sekali berbicara tentang laki-laki dan perempuan dalam konteks hubungan suami istri. Kesan yang paling kuat ketika membaca ayat di atas adalah bahwa laki-laki merupakan pemimpin dalam rumah tangga, serta perempuan tunduk dan tersubordinasi dalam hal-hal yang berkaitan dengan rumah tangga. Ketika berbicara masalah-masalah publik–di luar rumah tangga– laki-laki dan perempuan adalah sejajar baik dalam masalah sosial, bisnis, politik dan lain-lain.
Namun karena pemahaman yang sudah lama terkonstruk sedemikian rupa, sehingga memunculkan paradigma yang keliru pula. Sehingga tak jarang fenomena-fenomena di atas kemudian menjadi penyebab yang menghalangi kiprah perempuan di ruang publik. Dan tak jarang pula menimbulkan rasa kurang percaya diri seorang perempuan atas dirinya4.
Padahal ketika kita menyoroti kiprah perempuan di ruang publik, kita bisa saksikan bahwa seorang perempuan juga memiliki kualitas dan kapasitas yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Ada sederetan nama perempuan-perempuan hebat yang mengisi perjalanan sejarah kehidupan manusia sejak zaman dahulu hingga kini. Dalam agama Islam kita mengenal Ratu Balqis yang sukses memimpin negeri Saba’, bahkan di Indonesia kita pernah bersepakat memilih seorang presiden perempuan.
Kemudian lihat pula sejarah yang telah mencatat beberapa perempuan-perempuan tangguh yang berjuang mengangkat senjata di medan perang. Aisyah ra, istri Rasulullah yang telah memipin pasukan perang, demikian pula dengan Fatimah Az Zahra puteri Nabi SAW. Selanjutnya ada Atikah binti Yazid ibn Muawiyah, Ummu Salamah binti Ya’qub yang terlibat aktif dalam peran politik ketika itu5.
Dalam konteks masa kini sangat mudah kita temui bahwa banyak perempuan bekerja di tempat publik seperti pasar, kantor, dan sawah walaupun partisipasi itu tidak dianggap sebagai tugas utama seorang perempuan (Alimi, 2004).
Lebih lanjut (Alimi, 2004) menjelaskan terlalu tergesa-gesa menyimpulkan perempuan termasuk di Indonesia secara absolut didomestifikasi dan terbatas di tempat-tempat umum. Karena sebagaimana kita ketahui perempuan telah menjadi aktor politik penting dalam perjuangan kaum nasionalis dalam lingkungan publik yang menandai masuknya bangsa ini ke dalam era modernitas (Boserop, 1970 dalam Handayani dan Novianto, 2004).
Artinya tidak semua laki-laki memiliki kualitas dan kapasitas di atas perempuan. Hal ini bukan saja karena dipandang sebagai bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan dasar-dasar kemanusiaan universal, melaiknan juga karena fakta-fakta sosial sendiri yang telah membantahnya (Muhammad, 2009)
Jika kita mencerna dengan lebih berhati-hati dan objektif, maka akan kita temui pandangan Islam yang mengatur bagaimana sesungguhnya Islam memandang kedudukan laki-laki dan perempuan.
Hakekat keadilan dan kesetaraan gender memang tidak bisa dilepaskan dari konteks yang selama ini dipahami oleh masyarakat tentang peranan dan kedudukan laki-laki dan perempuan di dalam realitas sosial mereka. Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi atau bangunan budaya tentang peran, fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan.
Dalam bidang kepemimpinan, Islam memandang manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Akhir dari surat Al Ahzab mempertegas kekhalifahan manusia di muka bumi sebagai pengemban amanat Allah SWT untuk mengolah dan memakmurkan bumi. Inilah tugas pokok manusia dan tidak terdapat perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Ini yang dalam hukum Islam disebut taqlidiyah6.
Namun perlu disadari pula sesungguhnya tugas perempuan yang pertama dan yang paling besar yang tidak ada pertentangan padanya adalah mendidik generasi yang telah dipersiapkan oleh Allah, baik secara fisik maupun jiwa. Wajib bagi perempuan untuk tidak melupakan risalah yang mulia ini disebabkan karena pengaruh materi atau modernisasi apa pun adanya, karena tidak ada seorang pun yang mampu melakukan tugas agung ini yang sangat menentukan masa depan ummat kecuali dia. Dengan demikian maka kekayaan ummat akan semakin baik, itulah kekayaan sumber daya manusia7.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar