Minggu, 27 Maret 2011

Hanya Mengaku Mahasiswa

Pagi hari tak terdengar kokok ayam seperti di desa. Hanya kumandang azan yang ramai sekali, bersahutan dari mesjid ke mesjid, dari mushola ke mushola. Lebih pagi lagi ketika bola raksasa berwarna keemasan mulai menampakkan ronanya, menghiasi angkasa di ufuk timur, menciptakan keindahan tiada tara. Aku terkesima hampir beberapa menit mengamati pertunjukan alam yang dipersembahkan untukku.

Jalan Tlogo Mas kembali ramai ketika pagi hari, hilir mudik kendaraan seperti aliran sungai tak pernah berhenti, sehingga kakek-kakek dan anak-anak yang ingin mnenyeberang jalan harus meminta bantuan satpam atau tukang parkir.

Beberapa anak muda yang mengaku mahasiswa baru bangun tidur, mengusap-usap matanya dengan tatapan kosong dan fikiran melayang. Sembari menggeliatkan badan, tangannya mencari hand phone. Melihat jam 8 pagi selimut ditariknya lagi, tidur dilanjutkan tak peduli orang lain sudah sibuk dengan kegiatannya, tak mau ambil tau orang lain sudah mencipta karya, tak acuh dengan pepatah bangun pagi banyak rezeki, bangun siang rezeki diambil ayam.

Beberapa anak muda lain yang mengaku mahasiswa berbondong mengunjungi sebuah bangunan yang bertulis “warnet”. “Mau kerjakan tugas” salah seorang dari mereka berkata. Sibuk browsing, klik sana sini mencari referensi seperti judul tugas yang diberi dosen. “Ah, bikin lama, repot, copy paste saja” terdengar bisik diantara mereka

Di sudut salah satu kamar yang sepi, nyaris tak ada suara. Seorang anak muda memegang sebuah buku, matanya menatap lekat setiap baris kalimat yang tertera. Sesekali dahinya mengernyit, kemudian membuat catatan kecil berisi poin penting dari yang ia baca, ia tak perduli dengan keadaan sekelilingnya, tak tanggap akan perubahan sosial lingkungannya. Baginya nilai “A” adalah harga mati, anak muda ini juga mengaku mahasiswa.

Beberapa waktu yang lalu mereka yang mengaku mahasiswa berunjuk rasa, meneriakkan kata-kata cerdas dengan suara nyaring. Katanya “Kita harus perhatikan nasib rakyat kecil, kaum lemah dan tertindas, pemerintah tak boleh berlaku seenaknya, ini masalah keadilan” begitu lantang suaranya.

Yang lain ikut menambahkan “Coba perhatikan berapa banyak warga yang akan kehilangan pekerjaan dan otomatis menjadi pengangguran, siapa yang harus menanggung ini semua?” tak kalah lantang. Mereka sangat berani, bersemangat namun biasanya kuliah tak selesai.
Di lain tempat, mereka yang mengaku mahasiswa berkumpul, duduk rapat dengan kaki sedikit ditekuk, karena ruangan yang sempit seolah menjadi sesak. Mereka membicarakan macam-macam hal, seolah seperti orang pintar, berlagak serba tahu dengan gaya bicara dibuat-buat. Namun kadang tanpa referensi yang jelas, sehingga tak terarah. Mereka betah ber jam-jam, dan tak jarang hingga larut malam.

Di tempat ini suasananya beda, mereka yang juga ingin disebut mahasiswa berkumpul. Duduk bersama dengan riang gembira, menyanyi dengan diiringi sebuah gitar lapuk. Sesekali meneguk minuman berbau menyengat dari botol kaca. Bungkus makanan ringan berserakan, abu-abu rokok bertaburan. Mata mereka memerah, tapi tawanya semakin nyaring. Mereka tak perduli dengan orang lain, tak perduli dengan aturan RT, bahkan tak perduli dengan diri sendiri. Tragis.

Di tikungan jalan berdiri sebuah bangunan megah, di dalamnya dua orang tua yang mengaku anaknya mahasiswa bercerita dengan bangga. “Anakku sebentar lagi di wisuda, ia akan jadi sarjana seper ti aku” ujarnya dengan senyum mengembang.

Jauh di ujung desa, dua orang suami istri yang sudah renta juga bercerita. Mereka menceritakan anaknya yang katanya adalah mahasiswa. “Sebentar lagi anak kita diwisuda, bapak benar-benar bangga padanya” ucapnya dengan terisak karena tangis bahagia....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar